
Di mana-mana sampah menjadi masalah sosial, terutama di walayah padat penduduk, demikian juga pada wilayah yang mulai berkembang. Sampah yang berserakan menghadirkan pemandangan yang tidak asri dan menjadi sarang penyakit. Untuk membuang sampah, tidak sembarangan tempat, karena bisa timbul masalah dengan pemilik lahan atau penduduk yang berdekatan dengan lokasi pembuangan.
Namun demikian, sampah bukanlah sama sekali tidak berguna. Sampah bahkan dapat mendatang penghasilan baik bagi pribadi maupun kelompok yang mengolahnya. Ketika berbincang di kantor desa Selasa (28/09), Lurah desa Potorono nampak cukup concern terhadap masalah sampah. Ia bahkan mewajibkan setiap kompleks perumahan di wilayahnya, harus memiliki bak sampak dan mengolahnya dengan cermat. Kepada para dukuhnya Muhammad Dahlar Djuwaini mengarahkan agar mereka memberi perhatian terhadap penangan sampah di wilayahnya masing-masing. Saat ini yang sudah mulai kelihatan hasilnya yakni pedukuhan Salakan dan Mertosanan Wetan.
Ketika diajak ke Mayungan, Jumali Dukuh Salakan memperlihatkan bagaimana ia membina kelompok BMS/Bersih Membuat Sehat, mengumpulkan berbagai jenis sampah keluarga. Usaha yang telah dirintis sejak akhir 2008 ini, menurut Jumali, sudah dapat mengumpulkan sampah dari 106 KK di dua Rt yakni Rt. 04 dan 05 dalam gudang penampungan ukuran 3 x 10 m yang dibangun secara swadaya. Kelak sampah dari seluruh warga pedukuhan Salakan diharapkan bisa dikelola oleh BMS. Selanjutnya Jumali menjelaskan bahwa keuntungan bagi warga yang pertama tidak susah membuang sampah dan yang ke dua tidak perlu membayar retribusi. Sampah organik kemudian diolah menjadi pupuk dan dijadikan media tanaman seperti terong, lombok, tomat, pare, jeruk. Sedangkan sampah plastik lembaran, botol plastik, pecahan kaca dan gelas, logam, kertas dan karton, setelah ditampung sebulan, dijual kepada pengepul. Pupuk organik yang dihasilkan selain digunakan sebagai media tanaman yang baru disemai, lainnya dijual Rp. 3.500 per 5 kg. Namun bagi masyarakat di pedukuhan Salakan sendiri, dapat membelinya dengan harga yang lebih murah. Hasil penjualan sampah unorganik rata-rata Rp. 400 ribu per bulan. Untuk membayar 2 orang tenaga pengumpul sampah Rp. 200 ribu, sedang sisanya digunakan untuk membangun wilayah pedukuhan.
Kini Jumali bersama kelompok BMS binaannya mulai berkonsentrasi pada pembibitan berbagai tanaman pangan untuk dijual. Untuk itu kelompok BMS juga telah mempunyai gudang penampungan sampah organik seluas 6 x 10 m. Jumali juga mengatakan kalau saat ini ia baru mendapat pesanan 500 polyback tanaman terong panah merah yang berumur 2 minggu dengan harga Rp. 110 per satu polybeck. Ke depannya Jumali akan lebih mendorong para ibu rumah tangga warganya untuk terjun langsung dalam usaha ekonomi ini, sehingga bisa mambantu peningkatan pendapatan keluarga. Diakhir perbincangan kami, Jumali juga mengutarakan keinginan bisa memperoleh 1 buah kendaraan tosa untuk mengumpulkan sampah. Kini ia telah mengajukan permohonan ke Propinsi DIY. Semoga berhasil dan sukses membangun Salakan dan Potorono (Fernandez).
Sumber : www.desapotorono.org